Stiglitz: Indonesia agar Fokus pada Kepentingan Jutaan Warga
Indonesia disarankan agar memfokuskan pengembangan ekonomi yang menjadi landasan utama kehidupan mayoritas penduduk. Apa pun kebijakan industrialisasi yang diambil Indonesia, haruslah memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas itu.
Jangan terburu-buru melakukan liberalisasi perdagangan atau hal-hal lainnya, tetapi fokuskan kebijakan pada pertumbuhan yang sudah pasti akan meningkatkan pertumbuhan dan selanjutnya menumbuhkan perdagangan.
Demikian antara lain diutarakan oleh ekonom kaliber internasional Joseph E Stiglitz di Jakarta.Dia lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan kini pengajar di University of Columbia, New York.
Dia memberikan kuliah umum dengan tema “Isu-isu Ekonomi Terkini dan Dampaknya pada Negara-negara Berkembang" yang disponsori oleh Ikatan Sarjana Ekonomi.
Tanpa sadar, Stiglitz juga memperlihatkan bahwa sejumlah kebijakan Indonesia memang telah blunder. "Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga," katanya.
Menurut dia, pendidikan adalah sebuah investasi besar dan berarti dan berdampak jangka panjang. Dia mengatakan, pendidikan elem sukses bagi suatu negara karena itu akan menjadi modal dasar yang penting bagi sebuah negara.
Tak masuk akal
Pernyataan Stiglitz fokus pada pertanian itu muncul menjawab pertanyaan sederhana dari seorang wartawan yang menanyakan, “Apakah resep kebijakan yang menjadi saran Stiglitz sehubungan dengan keberadaan pemerintahan baru di Indonesia?"
Sebenarnya agak disayangkan, untuk keberadaan pembicara sekaliber Stiglitz, kursi-kursi di sebuah ruang seminar Hotel Jakarta itu tidak terisi penuh dan juga tidak dihadiri para pejabat yang seharusnya menjadi target dari kuliah umum Stiglitz.
Stiglitz semakin terkenal setelah meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 bersama George A Ackerlof, A Michael Spence, untuk analisa-analisa pasar dengan informasi asimetri. Tidak semua warga sama-sama memiliki informasi yang sempurna tetapi sebagian warga jauh ketinggalan dari pihak lain soal informasi. Akibatnya, yang muncul adalah keuntungan bagi pihak yang mendapatkan informasi ketimbang yang minim informasi. Analisa mereka itu, dianggap sebagai masukan penting bagi ekonom dan para pembuat kebijakan, agar mengerti soal keberadaan informasi asimteri sehingga peluncuran kebijakan pun bisa dimodifikasi dengan adanya faktor-faktor itu.
Kembali ke soal Indonesia, Stiglitz mengatakan bahwa mayoritas penduduk masih tinggal di pedesaan dan mayoritas adalah petani. Indonesia juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Karena itu kata Stiglitz, memperhatikan pengembangan pertanian adalah tugas yang mau tak mau harus dilakukan karena Indonesia tidak bisa mengabaikan keberadaan penduduk seperti itu.
Namun dia mengatakan, kebijakan yang akan diterapkan soal pertanian harus didasarkan pada dinamika yang ada. Artinya, dalam konteks pertanian, yang menjadi fokus bukan lagi sekadar memproduksi komoditi tetapi juga harus dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. “Maka dari itu, jenis industrialisasi yang diciptakan juga harus terkait dengan kepentingan petani itu," katanya.
Stiglitz mengkritik Indonesia, karena sebagian besar dari hasil pertanian justru diolah di luar Indonesia. “Tidak ada sebenarnya alasan mengapa hal itu harus terjadi," kata Stiglitz.
Ingat, mayoritas warga Indonesia ada dan hidup dari lingkup ekonomi seperti itu, maka itu untuk pengembangan kehidupan dan perekonomian penduduk mayoritas, menjadi tugas penting. Jika itu terjadi, kata Stiglitz, maka pertumbuhan akan terjadi karena peningkatan pendapatan penduduk di sektor tersebut.
Dia juga memperingatkan Indonesia agar meraih nilai tambah yang lebih besar dari keberadaan kekayaan sumber daya yang lain. Dia mengatakan, tak bisa lagi dilanjutkan keadaan, di mana sumber daya alam itu dijual begitu saja tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat pada kepentingan mayoritas warga.
Stiglitz mengatakan semua itu, atas dasar alasan bahwa sebuah negara harus memperhatikan di mana sebenarnya letak dari kekuatan daya saingnya. “Pikirkanlah di mana
Kaya dan miskin
Namun saat memberikan kuliah umumnya, Stiglitz juga memperingatkan seraya memberikan contoh-contoh menggelitik, yang juga sangat penting untuk diperhatikan oleh Indonesia, termasuk pada pembuat kebijakan ekonomi.
Menurut Stiglitz, betapa banyak negara di dunia yang gagal memakmurkan rakyatnya dan hanya menguntungkan kaum kaya karena peluncuran kebijakan yang salah arah.
Dia mengingatkan lagi pada kasus di negara-negara Amerika Latin yang hanya menguntungkan kaum kaya. Venezuela adalah contoh lain yang dia berikan, di mana dua pertiga pertiga warga hidup sangat miskin dan sepertiga kaya raya.
Menurut Stiglitz, semua itu disebabkan kawasan itu adalah murid paling penurut kepada IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan besar dalam resep-resep ekonomi, dan telah pula menjerumuskan Rusia ke dalam resesi ekonomi yang buruk.
Salah satu penyebabnya adalah, resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia yang fokus kepada stabilisasi, liberalisasi, swastanisasi yang disebut sebagai resep dari Konsensus Washington (IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS).
Dia mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi dan stabilisasi itu penting. Namun, persoalannya, ketiga hal itu seringkali dilakukan terburu-buru dan dipaksakan. Tetapi Konsensus Washington lupa bahwa ada sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap dengan liberalisasi dan swastanisasi itu.
Di sisi lain, liberalisasi dan swastanisasi tidak serta merta harus meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus Washington. Akibatnya, hanya yang mampu dan bisa ikut arus yang bisa terciprat dari pembangunan. "Akibatnya, dekade 1980-an adalah dekade yang hilang bagi Amerika Latin dan sekarang ini juga menjadi sebuah kawasan yang memiliki kehilangan," kata Stiglitz.
Indonesia disarankan agar memfokuskan pengembangan ekonomi yang menjadi landasan utama kehidupan mayoritas penduduk. Apa pun kebijakan industrialisasi yang diambil Indonesia, haruslah memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas itu.
Jangan terburu-buru melakukan liberalisasi perdagangan atau hal-hal lainnya, tetapi fokuskan kebijakan pada pertumbuhan yang sudah pasti akan meningkatkan pertumbuhan dan selanjutnya menumbuhkan perdagangan.
Demikian antara lain diutarakan oleh ekonom kaliber internasional Joseph E Stiglitz di Jakarta.Dia lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan kini pengajar di University of Columbia, New York.
Dia memberikan kuliah umum dengan tema “Isu-isu Ekonomi Terkini dan Dampaknya pada Negara-negara Berkembang" yang disponsori oleh Ikatan Sarjana Ekonomi.
Tanpa sadar, Stiglitz juga memperlihatkan bahwa sejumlah kebijakan Indonesia memang telah blunder. "Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga," katanya.
Menurut dia, pendidikan adalah sebuah investasi besar dan berarti dan berdampak jangka panjang. Dia mengatakan, pendidikan elem sukses bagi suatu negara karena itu akan menjadi modal dasar yang penting bagi sebuah negara.
Tak masuk akal
Pernyataan Stiglitz fokus pada pertanian itu muncul menjawab pertanyaan sederhana dari seorang wartawan yang menanyakan, “Apakah resep kebijakan yang menjadi saran Stiglitz sehubungan dengan keberadaan pemerintahan baru di Indonesia?"
Sebenarnya agak disayangkan, untuk keberadaan pembicara sekaliber Stiglitz, kursi-kursi di sebuah ruang seminar Hotel Jakarta itu tidak terisi penuh dan juga tidak dihadiri para pejabat yang seharusnya menjadi target dari kuliah umum Stiglitz.
Stiglitz semakin terkenal setelah meraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 bersama George A Ackerlof, A Michael Spence, untuk analisa-analisa pasar dengan informasi asimetri. Tidak semua warga sama-sama memiliki informasi yang sempurna tetapi sebagian warga jauh ketinggalan dari pihak lain soal informasi. Akibatnya, yang muncul adalah keuntungan bagi pihak yang mendapatkan informasi ketimbang yang minim informasi. Analisa mereka itu, dianggap sebagai masukan penting bagi ekonom dan para pembuat kebijakan, agar mengerti soal keberadaan informasi asimteri sehingga peluncuran kebijakan pun bisa dimodifikasi dengan adanya faktor-faktor itu.
Kembali ke soal Indonesia, Stiglitz mengatakan bahwa mayoritas penduduk masih tinggal di pedesaan dan mayoritas adalah petani. Indonesia juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Karena itu kata Stiglitz, memperhatikan pengembangan pertanian adalah tugas yang mau tak mau harus dilakukan karena Indonesia tidak bisa mengabaikan keberadaan penduduk seperti itu.
Namun dia mengatakan, kebijakan yang akan diterapkan soal pertanian harus didasarkan pada dinamika yang ada. Artinya, dalam konteks pertanian, yang menjadi fokus bukan lagi sekadar memproduksi komoditi tetapi juga harus dilengkapi dengan penciptaan nilai tambah. “Maka dari itu, jenis industrialisasi yang diciptakan juga harus terkait dengan kepentingan petani itu," katanya.
Stiglitz mengkritik Indonesia, karena sebagian besar dari hasil pertanian justru diolah di luar Indonesia. “Tidak ada sebenarnya alasan mengapa hal itu harus terjadi," kata Stiglitz.
Ingat, mayoritas warga Indonesia ada dan hidup dari lingkup ekonomi seperti itu, maka itu untuk pengembangan kehidupan dan perekonomian penduduk mayoritas, menjadi tugas penting. Jika itu terjadi, kata Stiglitz, maka pertumbuhan akan terjadi karena peningkatan pendapatan penduduk di sektor tersebut.
Dia juga memperingatkan Indonesia agar meraih nilai tambah yang lebih besar dari keberadaan kekayaan sumber daya yang lain. Dia mengatakan, tak bisa lagi dilanjutkan keadaan, di mana sumber daya alam itu dijual begitu saja tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat pada kepentingan mayoritas warga.
Stiglitz mengatakan semua itu, atas dasar alasan bahwa sebuah negara harus memperhatikan di mana sebenarnya letak dari kekuatan daya saingnya. “Pikirkanlah di mana
Kaya dan miskin
Namun saat memberikan kuliah umumnya, Stiglitz juga memperingatkan seraya memberikan contoh-contoh menggelitik, yang juga sangat penting untuk diperhatikan oleh Indonesia, termasuk pada pembuat kebijakan ekonomi.
Menurut Stiglitz, betapa banyak negara di dunia yang gagal memakmurkan rakyatnya dan hanya menguntungkan kaum kaya karena peluncuran kebijakan yang salah arah.
Dia mengingatkan lagi pada kasus di negara-negara Amerika Latin yang hanya menguntungkan kaum kaya. Venezuela adalah contoh lain yang dia berikan, di mana dua pertiga pertiga warga hidup sangat miskin dan sepertiga kaya raya.
Menurut Stiglitz, semua itu disebabkan kawasan itu adalah murid paling penurut kepada IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan besar dalam resep-resep ekonomi, dan telah pula menjerumuskan Rusia ke dalam resesi ekonomi yang buruk.
Salah satu penyebabnya adalah, resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia yang fokus kepada stabilisasi, liberalisasi, swastanisasi yang disebut sebagai resep dari Konsensus Washington (IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS).
Dia mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi dan stabilisasi itu penting. Namun, persoalannya, ketiga hal itu seringkali dilakukan terburu-buru dan dipaksakan. Tetapi Konsensus Washington lupa bahwa ada sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap dengan liberalisasi dan swastanisasi itu.
Di sisi lain, liberalisasi dan swastanisasi tidak serta merta harus meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus Washington. Akibatnya, hanya yang mampu dan bisa ikut arus yang bisa terciprat dari pembangunan. "Akibatnya, dekade 1980-an adalah dekade yang hilang bagi Amerika Latin dan sekarang ini juga menjadi sebuah kawasan yang memiliki kehilangan," kata Stiglitz.
Komentar
Posting Komentar